Uncategorized

Midnight Romeo Chapter 4 – JiYoo19 (D.OneDeer19)

mr

Di dunia ini, pasti ada tempat bagi Malaikat untuk melarikan diri. Bersembunyi dari semua orang, bahkan Romeo tengah malam yang selalu mengusik kehidupannya.

Meski Malaikat itu lelah, dia merasa kehiduapan ini tidak pernah terlihat benar-benar adil di matanya. Selalu saja ada hal yang membuatnya merasa kecil dan hina.

Dia bersi keras untuk pergi meski mengetahui sayapnya telah patah. Bahkan meski harus kehilangan jiwanya karena harus meninggalkan Romeo itu, sang Malaikat akan merasa begitu terhormat.

Pada dasarnya, dia tidak perlu menyesali keputusan itu.

Karena ia begitu mencintai Romeonya.

 

***

PROLOGUE  CHAPTER 1 CHAPTER 2 CHAPTER3

***

Belakangan ini aku mengalami gejala sulit tidur, tidak jarang aku juga mengalami mimpi buruk dan itu terus berlangsung selama dua minggu. Awalnya aku tidak terlalu mempedulikan hal ini, namun lama kelamaan aku menyadari bahwa ini bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Setelah menghadapi hari-hari yang melelahkan, secara teknis aku membutuhkan waktu yang cukup berkualitas untuk mengistirahatkan tubuhku. Tapi apa yang terjadi padaku jelas-jelas salah. Aku benar-benar khawatir jika diriku akan terkena stress lantaran tugas-tugas ini.

Aku mungkin tidak akan mengajukan protes saat dosen-dosen itu memberikan tugas essay atau studi pustaka yang cukup membuatku tidak bisa bergerak dari perpustakaan. Dan selama ini, aku memang tak pernah melakukannya.

Kakiku melangkah keluar dari subway, dengan membawa setumpuk buku dari perpustakaan kota, ku putuskan untuk menyudahi hari ini dengan pulang ke rumah kos-kosanku yang letaknya di pinggir kota. Aku telah merencanakan beberapa agenda seperti mengerjakan tugas essay dari profesor Do sembari makan ramyun, setelah itu aku akan mendengarkan acara radio sembari mempersiapkan bahan presentasi esok lusa. Kalau perlu, aku akan membeli beberapa botol minuman ringan dan kue beras pedas, tapi sepertinya aku tidak akan sempat melakukan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, gerimis mulai memercik di kakiku saat aku berjalan di trotoar menuju halte bis selanjutnya.

Lagi pula, aku sudah terlalu lelah untuk berjalan lebih jauh lagi. Seperti yang telah ku jelaskan sebelumnya, aku selalu menghadapi hari yang penuh dengan tekanan. Aku hanya bisa memikirkan tugasku dengan cara yang tidak benar. Tanpa ku sadari, aku malah membuat diriku semakin lelah dan jengah dengan kehidupanku sendiri.

Namun jika ini adalah satu-satunya hal yang dapat membuatku melupakan Jong In dan  kehidupanku yang tidak bahagia, maka semuanya pasti akan baik-baik saja.

Ketika saat itu tiba, aku akan mengubur kenangan-kenangan itu di tempat ini. Tidak akan menoleh meski mereka memanggil-manggil namaku.

Aku membenci Jong In sama seperti aku membenci Eun Soo. Aku membencinya karena ia selalu saja menyianyiakan waktu dengan melakukan hal tidak berguna. Ia menganggap perasaan seorang wanita tidak lebih dari sebuah permainan menarik yang bisa ia mainkan hingga bosan. Kemudian, ia akan membuangnya dan berpura-pura tidak bersalah. Mungkin dulu aku tidak terlalu memperhatikan hal itu, aku terlalu sibuk mengaguminya dan mengabaikan hal paling fatal yang bisa saja mencelakaiku.

Kim Jong In bukanlah sosok yang harus dikagumi. Dia Cassanova, pria brengsek yang namanya tidak seharusnya ku tulis dalam buku harianku.

Aku mendongakkan kepalaku, gerimis ini sebentar lagi akan berubah menjadi hujan lebat. Aku mempercepat langkahku dan mendekap buku-buku itu semakin erat. Di saat seperti ini, aku teringat akan masa kecilku. Aku menghabiskan malamku di taman kota, membiarkan gerimis mengenai tubuhku tanpa peduli aku bisa saja sakit keesokan harinya. Saat itu, aku berharap ibuku akan datang dan menjemputku untuk pulang. Aku juga berharap jika ia akan memarahiku dan berpesan agar aku tidak mengulanginya lagi. Tapi meski aku menunggu, dia tidak pernah datang untuk menjemputku. Bahkan ketika aku pulang ke rumah, aku merasa tidak benar-benar tinggal dengan ibuku.

Setiap hari, selalu saja ada pria asing yang keluar masuk rumahku. Mereka bahkan dengan lancangnya masuk ke dalam kamar ibuku. Aku sangat marah karena mereka memperlakukan rumahku sama seperti rumah mereka sendiri. Aku mengumpulkan keberanianku untuk berteriak marah pada laki-laki itu. Aku juga berharap ibuku melakukan hal yang sama, bahkan aku berharap jika ibuku akan mengusir laki-laki itu. Tapi dia tak pernah melakukannya, alih-alih melakukan itu semua, ibuku justru menamparku dan mengurungku di dalam kamar.

Ku akui itu adalah malam paling menyakitkan yang pernah ku alami. Aku berusaha berteriak sekuat mungkin, memohon agar ibuku membukakan pintu untukku. Aku merasa ingin mati menahan rasa lapar dan haus, tapi aku tahu hatiku jauh lebih terluka.

Saat itu aku berharap jika aku memiliki seorang ayah. Aku berharap jika ayahku akan datang dan membukakan pintu untukku. Kemudian ia akan memelukku dan mengajakku makan bersamanya. Ia akan berkata aku tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi, karena ia akan selalu ada di sisiku. Namun kenyataannya, aku hanya memiliki diriku sendiri. Aku hanya mencoba bertahan tanpa peduli sudah berapa banyak luka di hatiku.

Ibuku tak pernah menatapku seperti ia menatap anaknya, ia menatapku seolah-olah aku seorang penjahat keji yang telah merenggut kehidupannya. Ia menyalahkanku atas kejahatan yang tak pernah kulakukan.

Saat itu aku hanya seorang anak perempuan yang baru berusia 8 tahun. Aku baru saja duduk di kelas dua sekolah dasar, namun saat itu aku merasa segala yang ku miliki telah direnggut dariku.

Aku hanya bisa mempertaruhkan hidup dengan harapan suatu hari nanti aku akan pergi dari wanita itu. Aku tidak perlu khawatir untuk terluka lagi, aku akan hidup di tempat yang lebih layak. Sebuah tempat dimana tak seorangpun mengenalku sebagai Park Cheon Sa.

Aku memejamkan mataku, rasa sakit dari luka-luka itu masih bisa kurasakan. Bahkan meski telah berlalu 12 tahun lamanya, semua itu masih segar dalam ingatanku.

Bagaimana Eun Soo menamparku, memakiku, mengurungku tanpa memberiku makan dan minum. Bagaimana ia menyalahkanku atas kesalahan yang tidak ku lakukan, berkata bahwa aku telah menghancurkan kehidupannya. Bersikap seolah dialah satu-satunya orang yang terluka.

Jika ia selalu menyangka dirinya terluka, lalu apa yang harus ku katakan mengenai keadaanku?

Aku membuka pintu rumahku dan menyalakan lampu. Aku meletakkan buku-buku ini di atas meja dan kemudian duduk sembari menghela napas. Rumahku sangat berantakan, aku tidak sempat membereskannya karena aku terlalu sibuk dengan tugasku. Mungkin aku akan memberskannya ketika akhir pekan.

Cheon Sa…

Haruskah kau hidup seperti ini?

Kau hidup jauh lebih berantakan dari apa yang pernah ku bayangkan.

Tidak, tidak, hidupku memang selalu berantakan. Sejak dulu selalu seperti ini, bahkan meski aku hidup dalam kondisi seperti ini, aku merasa masih bisa sedikit bernapas tanpa kehadiran Eun Soo. Meski aku hanya bekerja sebagai seorang penjaga toko yang gajinya tidak sebanding dengan seorang model, aku merasa cukup untuk mengisi perutku dengan ramen.

Benar-benar berantakan.

 

—(midnight romeo)—

 

 

“Ini demi putriku, Jong In. Ku harap kau bisa mengerti.”

Eun Soo melepaskan tangan Jong In darinya, pemuda itu diam dan memperhatikan Eun Soo dengan tatapan tidak mengerti.

“Apa maksudmu?”

Eun Soo menggeleng, ia merasa tidak sepantasnya Jong In mengetahui hal ini. Ia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk menyelesaikan masala ini.

“Kau tidak perlu mengetahuinya Jong In.”

Jong In menahan tangan Eun Soo, “Park Eun Soo.” Jong In menatap wanita itu tajam.

Wanita itu melepaskan tangan Jong In, dia sungguh butuh waktu untuk membahas hal ini.

“Kita bicarakan lain kali saja.”

Eun Soo masuk ke dalam mobilnya, ia pergi meninggalkan Jong In tanpa menoleh untuk melihat pemuda itu.

Saat ini, kepala Eun Soo terasa penuh. Ia tidak bisa memikirkan hal lain, selain Cheon Sa. Dia tidak mengerti mengapa dadanya terasa begitu sesak hingga sulit untuk bernapas. Kedatangan Park Jung Soo hari itu benar-benar membuat dunianya kacau. Setelah 20 tahun menghilang, dengan mudahnya pria itu kembali menampakkan diri dan menanyakan keadaannya.

Eun Soo tidak mungkin lupa hari dimana laki-laki itu meninggalkannya. Saat itu ia tengah mengandung Cheon Sa, laki-laki itu berjanji akan segera bertanggung jawab, dia berkata agar Eun Soo tidak khawatir. Tapi semuanya sudah terlambat, tidak ada yang harus diperbaiki sampai akhirnya laki-laki itu menanyakan putrinya.

“Bisakah aku bertemu dengannya?”

“Park Jung Soo, tidak seharusnya kau menampakkan diri di depan wajahku setelah kau menghancurkan hidupku berkeping-keping.”

Saat itu Park Jung Soo hanya tersenyum, dia tidak berubah dan tetap seperti 20 tahun yang lalu. Bahkan meski pria berusia 38 tahun itu tersenyum, Eun Soo masih bisa merasakan ketulusan di dalam senyumannya. Ia tidak mengerti mengapa wajah itu terlihat begitu mirip dengan Cheon Sa.

Senyum yang hampir membunuhnya karena merindukan laki-laki itu.

Wajah yang membuatnya merasa tidak berguna.

Laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya hingga ia tak memiliki kekuatan untuk menata kehidupannya dengan baik.

“Apakah dia hidup dengan baik? Apa dia tumbuh menjani gadis yang baik? Dia pasti sudah besar sekarang, hal itu tiba-tiba saja mengingatkanku akan dirimu. Dia… pasti terlihat mirip denganmu.”

Eun Soo tidak bisa menahan air matanya, entah mengapa perkataan Jung Soo seakan-akan berusaha mengejeknya. Hatinya merasa begitu sakit saat harus mengingat Cheon Sa, ia hanya tidak ingin mengingat anak itu ataupun laki-laki ini.

“Park Jung Soo…”

“Kau pasti telah merawatnya dengan baik. Terimakasih.”

Meski 20 tahun adalah  waktu yang cukup untuk menghapus kenangannya bersama Park Jung Soo, namun Eun Soo merasa betapapun waktu berlalu ia tidak akan pernah bisa melupakan laki-laki itu. Meski ia telah menghancurkan hidupnya dan membuatnya tidak berguna, Eun Soo masih begitu merindukannya hingga ia ingin mati.

Perasaan bersalah pada Cheon Sa selama 20 tahun terakhir membuat dadanya terasa sesak. Jika saja Jung Soo tahu apa yang telah terjadi selama ini, Eun Soo merasa laki-laki itu tidak akan pernah memaafkannya sampai kapanpun.

Ia pergi menuju tempat tinggal Cheon Sa, dia tak pernah menyangka jika lingkungan ini begitu sepi. Bahkan ketika menghentikan mobilnya di depan rumah kecil yang kumuh itu, hati Eun Soo merasa pedih.

Di depan rumah itu rumput-rumput mulai meninggi, beberapa bungkusan besar berisi sampah ramyun tergeletak di sisi jalan. Cat rumah yang mengelupas seolah menambah kesan buruk dari bangunan itu. Jika saja orang awam melewatinya, mereka pasti mengira bahwa rumah itu telah dikosongkan dan pemiliknya meninggalkan rumah itu. Namun, Eun Soo tidak akan berpikiran seperti itu, ia mengetahui Cheon Sa tak memiliki banyak waktu untuk mengurus itu semua.

Ia terlalu sibuk dengan kegiatannya hingga tak memiliki kesempatan untuk peduli pada dirinya sendiri.

Lampu yang menyala dari dalam rumah menegaskan jika Cheon Sa baru saja pulang ke rumahnya. Wanita itu tersenyum pedih dan meninggalkan tempat itu.

 

Apa kau selalu hidup seperti itu?

Apa hidupmu terasa begitu sulit?

Apa kau merasa bahagia dengan kehidupan seperti itu?

Kehidupan yang bahkan tak pantas disandingkan dengan namamu.

—(midnight romeo)—

 

Di dunia ini, pasti ada tempat bagi Malaikat untuk melarikan diri. Bersembunyi dari semua orang, bahkan Romeo tengah malam yang selalu mengusik kehidupannya.

Meski Malaikat itu lelah, dia merasa kehiduapan ini tidak pernah terlihat benar-benar adil di matanya. Selalu saja ada hal yang membuatnya merasa kecil dan hina.

Dia bersi keras untuk pergi meski mengetahui sayapnya telah patah. Bahkan meski harus kehilangan jiwanya karena harus meninggalkan Romeo itu, sang Malaikat akan merasa begitu terhormat.

Pada dasarnya, dia tidak perlu menyesali keputusan itu.

Karena ia begitu mencintai Romeonya.

 

Aku melihat tulisanku dengan perasaan sedih. Itu adalah bagian terakhir yang ku selesaikan untuk ceritaku, semua bagian itu akan ku kirim setelah tugas akhirku selesai.

Aku menatap langit melalui jendela, kemudian tersenyum lirih dan membayangkan sosok malaikat yang harus pergi meninggalkan kekasihnya itu.

Tiba-tiba saja aku teringat dengan hal ini, aku tidak pernah membayangkan jika pada akhirnya perpisahan akan menjadi begitu sulit. Bahkan meski semua orang menolak jika pada akhirnya mereka akan pergi, mereka tidak pernah punya pilihan lain selain mengikuti ketentuan yang berlaku.

Seperti itulah hidup.

Kemudian tatapanku teralih pada Hyun Jo yang sedang berbicara dengan Lu Han di luar kelas. Aku tersenyum ketika melihat pemuda itu tersenyum sembari merangkul bahu Hyun Jo, mereka terlihat sangat dekat dan begitu serasi.

“Kau akan ke Incheon selama tiga bulan? Itu jauh sekali…”

“Aku harus melakukan tugas ini untuk tugas akhirku, kau mengerti?”

“Tapi tiga bulan terlalu lama…”

“Jangan khawatir, kau bisa meneleponku.”

Aku memperhatikan raut wajah Hyun Jo yang terlihat begitu cemas, selama ini aku selalu melihatnya tersenyum gembira seolah-olah dia adalah robot yang tidak akan mengganti ekspresinya. Dan sekarang aku juga baru melihat sisi lain Lu Han yang hanya ia perlihatkan di depan gadis itu.

Aku tidak pernah menyangka jika kehidupan yang mereka jalani akan menjadi begitu indah. Masing-masing dari mereka memiliki seseorang yang berharga di hidupnya, merasa cukup dengan hidup seperti ini.

Dan ketika aku mulai membanding-bandingkannya dengan hidupku, entah mengapa aku merasa begitu hina.

Aku menutup mataku dan menghembuskan napas perlahan-lahan. Setiap kali melakukan hal itu dadaku terasa begitu nyeri. Seakan-akan seseorang berusaha mencabik paru-paruku dan kemudian meninggalkannya begitu saja.

“Kau akan meneleponku kan?” suara Hyun Jo masih terdengar cemas, namun Lu Han kembali merengkuhnya ke dalam dekapannya.

“Aku akan selalu mengabarimu.” Ujar Lu Han.

“Apa sekarang kau akan pergi ke distrik Jongno?”

Lu Han tersenyum dan mengusap kepala Hyun Jo, “Aku harus kembali ke kampusku. Jadi, jangan terlalu banyak mengeluh. Kau bilang aku harus menjadi dokter yang hebat.”

Hyun Jo tersenyum dan menyenggol dada Lu Han menggunakan sikunya, “Tentu saja aku tidak akan mengeluh. Lagi pula kau sudah berjanji akan mengabariku.”

Aku merasa hal ini bukankah hal yang harus ku lakukan, menguping pembicaraan seseorang akan menjadi tindakan kriminal dengan melanggar privasi seseorang. Dan meski tahu akan itu, aku malah tersenyum lirih seolah menikmati semuanya.

Setelah pembicaraan dua orang itu berakhir, aku memutuskan utuk pamit dengan alasan sedang tidak enak badan. Lu Han tentu saja mengerti akan hal itu, mengingat ia selalu memakiku karena harus lebih menjaga kesehatan. Dia selalu mengurus pengobatanku sampai sejauh ini, dan Hyun Jo yang memang tidak mengetahui penyakitku hanya bisa mengangguk kemudian menatapku dengan sedih.

“Jangan lupa minum obat, kau mengerti?” pesannya.

Aku tersenyum dan melambaikan tangan, “Aku tahu.”

Aku berjalan di koridor dan memperhatikan langkah kakiku. Hampir tidak ada orang di tempat ini, semua orang sibuk menghadiri acara musim panas yang diselenggarkan oleh panitia acara.

Langit terlihat begitu cerah, cuaca hari ini sangat terik. Tapi itu tetap bukan alasan bagiku untuk memikirkan acara musim panas.

Beberapa mahasiswa fakultas hukum menyapaku dengan ramah ketika melintasi koridor, aku tersenyum dan membalas sapaan mereka. Namun, ketika aku melintasi koridor yang menghubungkan fakultas sastra dan seni, aku menghentikan langkahku.

“Park Cheon Sa ssi!”

Suara itu memantul di dinding bangunan-bangunan ini, aku tidak tahu apa yang telah terjadi hingga suara pria itu kembali mengisi kepalaku.

Wajahnya muncul dibalik pintu ruangan kelas seni. Tersenyum cerah dengan rambutnya yang berantakan. Kali ini penampilannya tampak berbeda dibandingan penampilannya ketika kami berada di cafe itu. Kali ini ia hanya mengenakan kemeja biru tua dan kaus berwarna hitam.

Tatapannya yang bersemangat entah mengapa kembali melukai hatiku, tapi kali ini aku hanya tersenyum tipis dan meninggalkannya sendirian.

Kim Jong In mengikutiku, berjalan di sisiku dan bertindak seolah-olah dia masih seorang siswa SMA berusia belasan tahun.

“Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di tempat ini.”

“Ku akui itu rekor yang cukup menakjubkan,” aku tersenyum dan menatapnya melalui sudut mataku, “aku bisa bertemu Kim Jong In di tempat seperti ini.”

Jong In tertawa seolah-olah itu adalah hal yang menggelikan.

“Kau terlihat sangat sibuk.”

“Aku punya banyak hal yang harus diselesaikan.”

Jong In menahan tawanya, “Itu kedengaran benar-benar dirimu.”

Kami berhenti di ujung koridor dan memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di sepanjang koridor. Pemuda itu duduk di sebelahku, ia menghela napas sejenak sebelum menatapku dengan senyumannya yang tidak serius.

“Kau pindah ke universitas ini dan masuk ke fakultas Seni, itu cukup mengejutkan melihat kau harus mengulang di semester awal.”

Jong In tersenyum dan menyilangkan tangannya di depan dada, “Setidaknya aku cukup beruntung.”

“Menurutmu begitu?”

“Kelihatannya kau mengambil kelas musim panas, apa ini tidak terlihat terlalu terburu-buru?”

Aku menutup mata sejenak, menikmati hembusan angin musim panas yang melewati koridor ini.

“Aku benar-benar harus menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin.”

“Sekarang aku tahu jika perkataan orang-orang itu mengenai dirimu benar.”

Jong In menatapku, aku mengerutkan dahi dengan bingung.

“Apa maksudmu?”

Jong In memiringkan kepalanya dan tersenyum seolah-olah berusaha meledekku, “Orang-orang di sekolah selalu menceritakanmu karena mereka pikir kau orang yang aneh. Disaat semua pelajar memilih untuk bermain, kau justru sibuk menyiksa diri dengan belajar terlalu keras. Jika tebakanku benar, pasti kau telah merencanakan sesuatu.”

“Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?”

Jong In mengangkat bahu, “Kau terlihat memiliki banyak rencana.”

Aku tersenyum tipis dan menatap langit yang berwarna biru dengan tenang.

“Terkadang orang-orang sepertiku membutuhkannya.”

“Tentu saja semua orang membutuhkan rencana. Jadi, mau kau apakan rencana-rencana itu?” ia bertanya dengan antusias.

Sejujurnya aku selalu merasa sakit hati dengan perkataannya selama ini. Entah ketika melihatnya tersenyum seperti itu atau berlagak tidak mengerti dengan keadaan wanita lainnya. Aku selalu membenci Jong In tanpa ku tahu apa tujuannya.

Jika ingin lari, seharusnya aku tidak duduk berdua dengannya di tempat ini dan bersikap pengecut.

Aku menghela napas, masih terasa sakit setiap kali aku melakukannya. Sepertinya waktu yang tersisa memang tidak banyak, dan ketika saat itu tiba entah apa yang akan ku lakukan.

Apakah aku harus senang karena menerima kenyataan itu?

“Ada banyak hal yang ku inginkan di dunia ini. Aku menginginkannya hingga rasanya aku ingin mati dan terlahir kembali suatu hari nanti. Tapi semua orang tahu bahwa orang sepertiku tidak akan pernah mendapatkan akhir yang bahagia meski aku menangis sekalipun. Bahkan ketika memutuskan rencana-rencana itu, selalu ada perasaan bingung dan tersakiti.”

Jong In memperhatikanku, aku tahu dia tak mengerti apa maksud perkataanku. Tapi aku hanya tersenyum seolah-olah hal ini bukan masalah.

Tidak masalah dia akan mengetahuinya atau tidak. Bagiku, semuanya tidak akan mengubah apapun yang akan terjadi.

“Meski ada satu tempat bagi Malaikat untuk melarikan diri, apa kau yakin ia akan pergi ke tempat itu tanpa berpikir mengenai orang yang ia cintai?”

 

TBC

 

 

extra quotes :

Selalu ada alasan untuk pergi dan meninggalkan orang lain.

Sama seperti berusaha membenci orang itu, selalu ada alasan meski mereka tak ingin mengungkapkannya.

Kenyataan bahwa segalanya akan berakhir dengan menyakitkan selalu membayangi kapanpun itu. Dan ketika saat itu tiba, mereka akan mengetahui kenyataan yang lebih menyakitkan.

Sesungguhnya mereka hanya tidak ingin terluka, namun tak ada pilihan yang benar-benar mereka ambil untuk menyelamatkan diri sendiri.

Alih-alih berkata bahwa hal itu adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan, mereka justru mengorbankan kebahagiaan mereka demi hal yang mereka benci.

 

226 thoughts on “Midnight Romeo Chapter 4 – JiYoo19 (D.OneDeer19)”

  1. Kenapa jongin pindah universitas? Kenapa semakin kesini aku gak ikhlas banget jongin deket sama cheonsa? Cheonsa sudah cukup menderita. Miris banget sewaktu ibunya ndeskripsiin bagaimana keadaan luar kos kosan cheonsa.
    Oke. Aku baper -_-
    Tapi selamat kak! Semakin kesini ceritanya bikin greget dan aku tadi tidak nemuin typo. Keep writing kak! 🙂

    Like

  2. Baper gue baper :”v cheonsa tabahkan hatimu nakk :”3 kasian bgt jadi cheonsa 😐 kata2nya menyentuh bgt apalg quotes2nya yg bikin baper :”” baper bgt kayak liat poster exo OT12 jongin udah tau blm ya cheonsa anaknya eunsoo?kmungkinan udah tau kali yaa eh gk deh keknya okai lanjut baca lgg ^^

    Like

  3. bingung ntah kenapa jong in kayanya sksd pdkt gitu sama cheonsa apa ada tujuan lain ? bingung dan terasa mendadak hehe …
    dan aku masih penasaran kenapa judulnya midnight romeo … I dont get it yet

    Like

  4. Nyessss…… suka bnget sm kata2 nya :’)
    Kenapa aku kok bru nemu ff ini.. norak bnget aku yak!
    Hmm.. Jongin blm tau klo Cheonsa itu sbnrx anak dr pacarnya-Eunsoo. Kpn dia akan mngetahui smuanya? Huaaa aku selalu baper klo bca khidupan Cheonsaa..

    Like

  5. t.t rumit banget… jujur lagi kalo cheonsa bener2 mau masa depannya terwujud, caranya emng gak sehat pasti,tapi menurutnya gak ada pilihan lain, apalagi ‘perasaan bingung dan tersakiti’ bahasanya itu udah nunjukin seberapa besar tantangan dan akibatnya, huh .. jadi apa yang akan terjadi selanjufnya…
    fighting kak!

    Like

  6. duhh sedih banget sihh.. hidupnya cheonsa.. pengennya nglupain jongin.. malah orangnya nongol mulu.. itu juga eonsoo juga kasihan sihh.. hiksss

    Like

  7. Deskripsinya bikin terharu dan ga kerasa udah netes aja
    Jongin keknya ada maksud terdembunyi dari ketertarikannya ke Cheon Sa

    Like

  8. As expected! ini angsty sekaliii… bagian awal itu nyesek bgt. Penggambaran kehidupan masa kecil dia itu tersampaikan dengan baik dan feelnya bener2 kerasa. Gimana beratnya idup Cheonsa, gimana dia berusaha kuat padahal dia butuh sandaran. Ampun! aku suka bgt ff ini.

    Like

  9. Kasian banget sma cheonsa disaat mau lupain jongin malah ketemu terus bagaiamana reaksi jongin nanti kalau tau kalau cheonsa anak eun soo

    Like

  10. Setelah sekian lama, baru bisa komen sekarang karena dulu hpnya nggak mendukung. Udah pernah baca part ini tapi masih aja bisa menikmati. Sebenarnya menikmati semua karena cerita nya kerenkeren

    Like

Leave a comment