Uncategorized

Midnight Romeo Chapter 2 – JiYoo19

midnight romeo

Hanya ada satu hal yang dapat ku gambarkan tentang Kim Jong In.

Romeo tengah malam. 

***

Cinta ada, hanya dengan adanya keabadian.

Saat pertama adalah pertemuan. Lalu ada sebuah penegasan yang muncul.

Secara psikologis gila, kekosongan, panik, khayalan bahwa saat ini akan berlangsung selamanya.

Aku disita oleh keinginan.

Aku bersembunyi di balik punggung dan menunda semua jawabanku.

Mungkin seperti itu; cinta hal yang jujur—tapi ada masanya dipenuhi kebohongan yang kejam. Terlalu naïf juga egois.

 ***

Di hadapan Tuhan serta malaikat. Taburan lilin-lilin kecil terlihat tak berarti.

Untuk sebuah dosa dari masa lalu.

Aku hanya tak pernah tahu bahwa rencana-MU selalu tersembunyi.

Untuk hati yang sakit dan jiwa yang terombang-ambing.

Dia kembali datang dengan do’a.

Dosa yang nyata kini di hadapanku.

JiYoo19

PROLOGUE  CHAPTER 1

***

AKU benar-benar tidak bisa berpikir. Seseorang pasti sedang bermain-main dengan suhu sekarang. Disaat cuaca terik hampir menghanguskan beton-beton di gedung-gedung pencakar langit, aku malah begumul di atas tempat tidurku yang sempit. Memakai selimut berlapis dan termometer tua terselip di celah bibirku. Mengeluh dingin padahal cuaca di luar jelas-jelas seperti gurun Sahara.

Aku tidak mungkin amnesia dan tiba-tiba mengatakan bahwa aku sedang tersasar di tengah badai musim dingin. Sekarang masih tanggal tiga Agustus, itu artinya sekaran masih di puncak musim panas seperti yang seharusnya.

Tidak ada yang salah dengan ramalan cuaca. Secara spesifik  mungkin tidak, tapi terkadang aku harus mulai menginstropeksi diri dan bertanya pada hati kecilku.

Kenapa aku seperti ini?

Ya. Seharusnya aku berkeringat dan kepanasan karena sinar matahari itu akan menjadikanku seperti bebek kukus. Atau yang paling mengerikan dia bisa membuat kulitku yang selalu pucat menyeramkan ditebari bintik-bintik berwarna merah dan gatal. Alergi.

Aku menatap langit-langit kamarku dengan mata yang setengah terbuka. Kemudian aku melihat nakas yang berantakan. Penuh dengan bungkus obat dan gelas kosong, beberapa diantaranya jatuh di lantai. Sudah beberapa hari aku terbaring di tempat tidur, tidak bisa bangun tanpa berpegangan pada benda-benda di sekitarku.

Aku mengeluhkan sesak napas, kepala pusing, dada yang ngilu dan mimisan tiba-tiba. Pagi tadi aku baru saja menelepon Hyunjo dan mengatakan aku tidak bisa masuk kelas karena sedang tidak enak badan, dia sangat khawatir saat ku telepon, tapi aku meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa dan masih bisa istirahat di rumah.

Setidaknya aku perlu memeriksa keadaanku di dokter, mungkin aku harus menelepon Eun Soo atau—

Oh, tidak. Lebih baik tidak. Aku tidak mau rubah betina itu mencampuri urusanku.

Paling tidak aku bukan anak usia lima tahun yang masih suka merengek di kakinya. Aku mandiri, aku bisa melakukannya sendiri. Setelah sejauh ini, berjuang dengan penyakit konyol pernapasan. Aku masih bisa bertahan meski di keadaan paling buruk.

Sangat sulit untuk bernapas, tapi semakin aku mencoba, entahlah… aku merasa udara di bumi semakin sedikit dan tidak ada ruang untukku bernapas.

Pneumonia.

Tiba-tiba saja aku merasa kasihan dengan diriku. Aku tidak pernah menyangka bahwa akhirnya akan seperti ini.

Aku terbatuk beberapa kali, tenggorokanku sangat sakit juga pedih. Harusnya aku tidak minum soju hanya karena rubah betina itu. Permasalahan akhir-akhir ini semakin aneh, aku cukup mengerti soal program kuliah ke Los Angels yang tidak semudah kelihatannya, butuh waktu yang lama menyelesaikan sebuah skripsi. Beban mental dan moril yang ku terima pun tidak jauh lebih baik saat aku berusia 14 tahun, tapi seakan semua itu belum cukup…

Entah apa lagi.

Hari itu adalah akhir Juli. Hari di mana harusnya aku berkunjung ke rumah Park Eun Soo; sangat sedih dan sakit saat aku harus melihat fakta yang sesungguhnya. Tapi biar bagaimana pun, wanita jalang itu tetap Ibuku.

Hari itu aku datang ke flatnya yang berada di distrik Gangnam. Maksud kedatanganku yang sebenarnya adalah ingin mengembalikan ponsel yang selama hampir sebulan ku pinjam karena harus mengurusi beberapa hal terkait tugas akhirku. Jang seosangnim menyarankanku untuk selalu mengontaknya mengenai program kuliah tambahan, jadi aku memberitahu wanita itu untuk meminjam ponselnya. Sejujurnya dia tidak keberatan soal itu, bahkan jika aku tidak mengembalikannya pun dia tak akan mengungkit-ungkit masalahnya. Dia kaya, memiliki harta berlimpah dan pekerjaan tetap.

Tapi tetap saja, aku tak pernah merasa nyaman dengan kata meminjam. Jadi siang itu, aku menerobos masuk ke dalam flatnya tanpa mengucapkan salam seperti biasa.

Aku yakin dia juga tak akan protes, karena di hari lain kunjungan pun aku juga begitu. Dia tahu aku datang dan aku masuk. Begitu sederhana.

Tapi ada yang berbeda hari itu. Aku tidak pernah mengira dia akan membawa pria masuk ke dalam flat dan membiarkan pintu tak terkunci. Di depan pintu aku melihat sepatu kulit mengkilap dan satu pasang higheels. Aku tidak cukup bodoh untuk mengenali sepatu rubah betina itu, tapi bagaimana dengan satu pasang sepatu lagi? Oh, biarlah.

Aku masuk ke ruang tengah dan mendapati beberapa botol dan gelas champagne terguling di atas meja, di lantai berceceran puntung rokok. Oh, baiklah, aku juga tidak tahu kalau dia merokok. Tapi aku tak perduli. Aku masih sibuk bertanya-tanya tentang suasana di dalam flat yang sangat sepi,  tentu saja aku tidak mendengar apa-apa selain siaran televisi yang masih setia bermonolog. Mungkin saja dia sedang pergi dan tidak sempat mematikan TV. Namun hatiku masih bimbang.

Mungkinkah dia pergi?

Itu bisa jadi. Dia sangat sibuk, dia model terkenal dan tak punya banyak waktu luang. Aku menghela napas dan menatap jarum jam yang masih bergerak, lalu aku meletakkan ponsel itu di atas meja dan bergegas pergi.

Tapi ketika aku melintasi kamarnya yang tertutup, aku bisa mendengar suara desahan dari dalam. Aku terkejut—mungkin juga tidak;  sejak dulu aku sering mendengarnya dan bisa begitu cepat melupakan hal aneh itu. Namun berbeda kali ini.

Kim Jong In. Aku mendengar namanya disebut-sebut ditengah  suara erangan dan decitan tempat tidur. Berbagai spekulasi mulai berputar di kepalaku. Bagaimana mungkin di saat-saat seperti ini orang itu bisa masuk dalam pokok pembahasan? Kurasa ini bukan topik yang tepat, di saat melakukan hal berbau sex di ranjang dan tiba-tiba wanita itu… memanggil Kim Jong In.

Aku tahu ini pemikiran yang gila dan tidak masuk akal, tapi tidak mungkin saat wanita itu bercinta dengan orang lain, ia akan memanggil nama pria lain yang bahkan sangat asing…

Kecuali dia memang sedang melakukannya dengan orang itu.

Mereka tidak pernah bertemu, mereka tidak saling kenal… aku sangat yakin itu, namun suara-suara itu terus berusaha meyakinkanku. Semuanya terlalu nyata, juga suara pria itu dan desahannya yang lain. Aku ingin berhenti percaya, aku meyakinkan diri bahwa itu tidak mungkin, tapi aku tahu…

Kenyataan sedang berusaha menertawaiku.

Kim Jong In.

“Tidak. Tidak mungkin, bagaimana mungkin Park Eun Soo bisa—“

“J-jong In…”

Kim Jong In… Kim Jong In… Kim Jong In…

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Semuanya sangat cepat namun di satu sisi, duniaku tiba-tiba saja melambat. Seperti seseorang yang memutar duniaku dalam slow motion. Aku melihat ada rasa takut dan gelisah, aku melihat bayangan hitam putih yang aneh. Kecamuk yang tidak lagi tertahan dan sakit di ulu hati.

Ada sesuatu yang berusaha melubangi dadaku.

Saat itu juga aku merasa menyesal telah terlahir dari rahim wanita sepertinya. Aku menyesal untuk hidup dan mengenang pemuda yang pernah menempati sudut kecil di dasar hatiku.

Dan secara keseluruhan, harusnya aku tidak perlu menyesalinya sampai seperti itu. Bukankah dia cuma sebuah fase yang menduduki kenangan masa lalu remajaku yang sudah berlalu?

Seiring waktu aku akan melupakannya dan melupakan perasaan dasar yang pernah ada. Akan mati dan membusuk di dasar hatiku. Aku selalu yakin akan hal itu tanpa tahu resiko yang sebenarnya.

Seperti ini.

Aku benar-benar bisa gila hanya karena spekulasi itu. Tapi jika itu memang tidak benar, aku akan sangat bersyukur karena laki-laki itu bukan Kim Jong In. Aku tak tahu, aku tak tahu, aku tak tahu…

Aku hanya berharap kalau itu bukan dia. Aku sendiri tidak tahu apa alasannya, aku tak pernah merasa begitu sakit ketika Jong In hanya melempar senyum kasihannya padaku seperti pada upacara akhir sekolah.

Di musim dingin. Bulan Februari yang kering dan penuh salju berwarna putih. Aku menelan jawabanku dan memutuskan untuk bersembunyi. Membuang Kim Jong In dan membiarkannya pergi bersama kesedihanku.

Dia hanya Cassanova yang sibuk dengan petualangan cintanya. Siapa yang mau repot-repot melarangnya? Dia tak tertarik dengan komitmen, dia tidak punya bakat untuk menetap di satu hati tanpa tergoda dengan hal lain yang mengusik matanya.

Itu sungguh Kim Jong In.

Lalu aku mengubur surat cinta itu di bawah pohon maple yang sama ketika pertama kalinya aku melihat pria itu. Sejuta kenangan di musim gugur, pelarian cinta dan kekosongan. Secara psikologis memang gila, namun aku tak diizinkan untuk memilih.

Aku harus melupakan Kim Jong In dan mulai berpikir tentang rencana.

Aku harus memikirkan apa saja asalkan tidak mengungkit-ungkit orang itu.

Berpikirlah secara rasional Park Cheonsa. Pikirkan kesehatan dan rencanamu ke depan. Pikirkan soal program kuliah ke Los Angles dan kuliah musim panasmu. Kau punya begitu banyak jadwal yang harus kau urus. Kau tidak punya waktu untuk sakit dan meratapi orang dari masa lalu mu seperti kau yang meratapi mengapa kau terlahir dari rahim wanita jalang seperti Park Eun Soo.

 

—(midnight- romeo)—

 

“Jangan coba-coba menyentuh minuman beralkohol lagi atau kau benar-benar ingin aku mengantarmu ke pemakaman,” Lu Han menatapku tajam dari balik kaca matanya. Dia menulis resep dengan cepat dan kemudian menyerahkan kertas itu padaku.

“Aku tidak tahu kalau kau sedang menyelesaikan tugas akhir di klinik ini.” Ujarku berusaha untuk tidak perduli.

Lu Han menyandarkan punggungnya pada kursi, dia masih belum melepaskanku dari tatapan itu. Kemudian ia menghela napas, “Aku sudah mendengar soal program kuliah ke Los Angles itu.” Ia membenarkan posisi duduknya dan melipat tangannya di atas meja.

“Lalu?” aku menahan suaraku untuk tidak terdengar ingin tahu, tapi Lu Han sepertinya tidak perduli.

“Kau menyelesaikan tugas akhir jauh lebih cepat dibandingkan mahasiswa lain. Aku ingat kau seangkatan dengan Hyunjo,”

Aku tersenyum; sesungguhnya aku lebih berniat untuk tidak memperburuk keadaan. “Aku punya rencana lain,”

Lu Han mengangkat alisnya, “Kau merencanakan sesuatu?” Jujur, aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat ekspresi wajah ingin tahunya. Sekarang aku tahu apa alasan Hyunjo yang selalu berteriak tidak jelas saat melihat Lu Han dan kawan-kawannya melewati fakultas Desain. Ya, dia punya ekspresi wajah yang unik. Aku tidak terkejut kenapa wanita seperti Hyunjo bisa dengan mudah jatuh ke dalam pesonanya.

He has something.

“Sejak dulu.” Aku menyamankan posisi dudukku dan memangku tangan di atas lutut. Lu Han masih memperhatikanku. Lagi-lagi dia memberiku tatapan penuh selidik, satu-satunya yang tidak ku sukai dari orang ini adalah sikapnya yang mudah curiga pada orang lain.

“Kedengarannya itu sangat menyenangkan buatmu.”

Aku menggeleng pelan, “Lebih tepatnya belum. Itu masih sangat lama, aku masih harus menyelesaikan skripsi dan beberapa keperluan lain sebelum melakukan sidang.”

Dan kembali pada tatapannya yang menusuk. Dia melakukannya seolah-olah bisa menembus otakku. Oh, aku tak nyaman dengan itu.

“Dengan keadaan seperti itu,” nada bicaranya sangat dingin. Aku merasa perutku seperti disiram dengan air es. Mendadak kram dan mengeluhkan rasa dingin yang berusaha membekukan ususku.

“Aku baik-baik saja,” aku berusaha tidak terintimidasi dengan perlakuannya. Kurasa jika dia sudah menjadi dokter nanti semua pasiennya akan mengeluh dengan sikapnya yang satu ini. Tapi aku cepat-cepat menyesali perkataanku, karena dia juga sedang melakukan tugas sebagai asisten dokter di klinik ini—itu artinya dia memang dokter. Dia hanya perlu menapaki beberapa langkah lagi, dan tada! Dia adalah pria berusia 22 tahun ber jas putih dan jarum suntik di tangan. Dia dokter sungguhan.

Aku sangat takut soal itu.

Lu Han menatapku tidak percaya, kemudian dia tersenyum meremehkan. “Kau bahkan tidak yakin soal itu.” Aku tahu dia sedang mencoba mengolok-olokku, jadi aku hanya mengangkat bahu berpura-pura menerima kenyataan.

“Aku bukan tipe orang yang selalu meratapi kenyataan.”

“Dan sekarang kau harus mulai memikirkan dirimu Park Cheonsa. Kau sadar bahwa penyakit itu bisa membunuhmu and it’s not a joke. Lima persen dari penderita pneumonia meninggal.”

Aku tertawa, bagiku itu lelucon yang sangat lucu. Tapi Lu Han malah memandangku aneh dengan tatapan mata tajam. Siapa bilang aku tidak tahu?

I’m more than knowing about that.

Aku menghabiskan empat tahun hidupku untuk berdiri diantara hidup dan mati. Penyakit itu juga sama—dia menemaniku di masa-masa terburuk, tapi tak satu pun hal-hal mengerikan soal kematian pernah terlintas di kepalaku.

Seperti biasanya, aku tak pernah tertarik dengan hal itu.

“Apa kau berusaha menakut-nakutiku?”

Lu Han mulai gelisah di kursinya, jadi ia berdiri dan memegang kedua bahuku. Sekarang bukan lagi tatapannya yang dingin dan mengintimidasi, tapi lebih pada tatapan memohon pengasihan. Aku berusaha tak terpengaruh, tapi mataku tiba-tiba saja berembun. Kilasan hitam putih itu ada di depan mataku, ada kegelisahan dan rasa takut yang selama ini selalu ku sembunyikan. Aku tak pernah secengeng ini sebelumnya. Aku selalu memendam emosiku dibalik topeng tenang yang selalu melidungiku; tapi sekarang aku baru menyadari betapa asin air mataku. “Cheonsa.”

Aku sangat tahu itu. Tapi benarkah ini akan berakhir semudah kelihatannya?

“Tolong batalkan program kuliah ke Los Angles itu dan mulailah untuk melakukan pengobatan secara serius.”

Kata-kata itu memenuhi kepalaku. Saat itu juga, aku kembali merasa seseorang menghentikan waktu. Aku tidak tahu apa yang ku pikirkan sekarang. Aku seperti jatuh ke dalam lubang yang sangat gelap. Betapa rasa sakitnya mampu membuatku hancur berkeping-keping.

 

—(midnight- romeo)—

 

Aku berjalan menuju sub way untuk kembali ke Geumcheon, tapi  sepertinya itu masih jauh. Sejak tadi aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Lu Han di klinik. Haruskah aku mengorbankan masa depanku hanya karena pertaruhan hidup dan mati?

Program kuliah itu adalah tujuanku masuk ke dalam Universitas Nasional Seoul. Satu-satunya cara untuk mengobati rasa sakit dan kecewaku. Alasan terbesarku untuk meninggalkan Negara ini dan Park Eun Soo.

Cuaca sangat terik, langit biru dan awan-awan kecil mengapung di atas sana. Tapi kulitku telah mati rasa hingga tak bisa merasakan panas menyengat itu. Aku memandang jalan tanpa ekspresi, hanya sesekali menghela napas dan memikirkan sesuatu.

Kemudian tatapanku teralih pada resep obat yang ada di tangan kananku. Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap kali aku melihat kertas itu, aku merasa Lu Han sedang berusaha memaksaku untuk berhenti melangkah.

Sekarang aku mengerti rasanya orang yang terkena fonis mati. Ya, kira-kira seperti ini rasanya. Tapi aku masih jauh lebih beruntung.

Rata-rata penderita pneumonia memang bisa sembuh sebagian besarnya, tapi bagaimana denganku? Apa aku juga mengalami hal yang sama?

Lima persen diantaranya tidak selamat. Dan berdasarkan diagnosis yang ku terima, penyakit ini juga mulai serius.

Lu Han benar. Aku harus mulai memikirkan diriku sendiri.

Aku bahkan melupakan komponen paling penting yang ku miliki sekarang. Satu-satunya harapan untuk melangkah lebih jauh. Hidupku.

Aku berjalan melewati sebuah gereja yang berada di sebelah taman kanak-kanak. Gereja itu tidak besar, bahkan cat dindingnya mulai kusam dan dipenuhi retakan di sana-sini. Tiba-tiba saja aku tersenyum lirih.

Sudah berapa lama aku tak datang pada Tuhan?

Entah apa yang membawaku untuk memasuki gereja itu. Terakhir kalinya aku datang ke gereja adalah saat upacara kebaktian, itu pun hanya sekedar formalitas karena acara keagamaan yang diadakan di Universitas. Aku tidak pernah ingat mengenai hal ini. Rasanya sudah lama sekali.

Aku masuk ke dalam. Duduk di sebuah bangku kayu yang berada di deret ke tiga dari mimbar. Aku tidak tahu jika di dalam ada beberapa orang. Lidahku terasa kelu, rasanya begitu canggung melihat lilin-lilin kecil yang menyinari gereja. Aku tiba-tiba merasa bersalah. Aku mendongak, merasakan betapa tekanan psikologis ini hampir membuatku gila.

Jauh bertahun-tahun lalu. Jauh ketika Park Eun Soo membuatku terbuang seperti anak di panti asuhan, tidak memiliki ayah, hidup yang rumit, kosong dan cinta pertama yang kembali hadir memporak-porandakan hariku.

Kim Jong In.

Aku tak pernah ingat menjadi begitu emosional seperti ini. Tapi ketika mengingat Tuhan… aku menyadari betapa getir air mataku selama ini. Betapa aku membenci takdir dan Park Eun Soo. Saat itu aku merasa malaikat memandangku dengan tatapan keji.

Aku begitu berdosa.

Inikah yang dinamakan pengakuan dosa? Mengakui kesalahanku?

Aku tahu Tuhan punya begitu banyak rencana yang mustahil ku ketahui. Aku pun juga begitu; banyak sekali hal yang harus ku lakukan. Tapi untuk kali ini, aku tidak mengerti apa maksudnya.

Seorang pria ber jas hitam maju menuju altar, membawa sebuket bunga baby’s breath dan mawar. Berdo’a dengan Rosario yang terapit diantara jari jemarinya. Semuanya terjadi begitu cepat, atau otakku saja yang terlalu lambat menyampaikan bahasa visual itu?

Dia di sana. Berdiri di hadapan lilin kecil. Di hadapan Tuhan dan malaikat yang berusaha menelanjangiku dengan rasa bersalah. Datang tanpa ku ketahui dan kini sosoknya berada tak jauh dari tempatku.

Lelaki yang membuatku buta, membuatku menangis, membuatku menjerit kesakitan dan berteriak seperti orang gila. Orang dari masa lalu yang seenaknya mengambil hatiku lalu menghancurkannya dengan cara terlembut yang pernah ada.

Dia pemuda berambut coklat tua, berkulit gelap, dan memiliki senyuman paling menawan.

Orang-orang menyebutnya Romeo.

“Kim Jong In.”

Pemuda yang dengan begitu lancangnya membuatku terjerat pesonanya.

 

TBC

 

 

194 thoughts on “Midnight Romeo Chapter 2 – JiYoo19”

  1. cheonsa hidupnya kasian bgt… udah punya masalah keluarga , punya penyakit yg ga bisa dibilang ringan

    ijin lanjut author-niiiiimmm

    Like

  2. Hidup ini memang tak seindah akhir dongeng murahan anak TK :’v Hahh. Stay strong Cheonsa!
    Daebak thor. Love you thor ;;)

    Like

  3. Rasanya kehidupan cheonsa amat sangat berat,dengan penyakitnya,ibu yang gak peduli bahkan ia gak tahu siapa ayahnya.Bagaimana kalo ia tahu jongin suka sama ibunya??gak kebayang..

    Like

  4. Yaampun eomma cheonsa…. kenapa gitu amat ya. Ga peka apa bodoamatan sih.
    Jongin yaallah greget banget sih. Jadi rasanya pengen ikut di ff ini trus bilang ke jongin kalo cheonsa itu…… ahhhhh
    baguuus banget authornim kereeen

    Like

  5. sudah jatuh tertimpa tangga pula….
    kasihan sekali cheonsa….rasanya pengen nangis deh….
    kok bisa2nya ibunya cheonsa menjalin hbungan ma jong in…yang udah jelas usianya sama kayak anaknya sendiri…

    Like

  6. Ini sedikit aneh sih. Bukan dikitn, banyak. Apa yang mau cheonsa lakuin? Gimana perasaannya? Kenapa gak sama luhan aja ? Hoah, semoga mendapatkan titik terag dari gerejanya.

    Like

  7. Aku nemu satu typo kak. Sekaran. Sama aku bingung kata ‘diantara’ itu. Awalan di harus dipisah apa nggak.
    Makin kesini aku makin kasihan banget sama cheonsa 😦

    Like

  8. Coba aja kalo luhan masih jomblo dan blm sama hyunjoo daripada cheonsa tersakiti mendingan sm luhan betrayal gk papa lah ke hyunjo lg jaman kok :”v kata katanya kak jiyoo yg puitis itu emang rapih bgt aku bhkan bingung kok bisa yaa kak jiyoo nulis nyampe bagus kek gini :3 walopun kadang aku gagal paham sm kata2nya tp cuma dikit kok 😀 next bacaa lg 😀

    Like

  9. Jangan jangan Eun Soo hanya sebagai partner one nightstand seorang Kim Jongin…

    Sangat menyayat hati kisahnya Choensa… Kemana ayahnya tidakkah ayahnya mempunyai tanggung jawab buat anaknya, aboeji jebaljuseoooo

    Like

  10. nasibnya cheonsa miris banget. btw, pneumonia iti penyakit apa sih? pengen nyari di mbah google, tpi mlz. sudahlah, lupakan!

    Like

  11. disini hubungan cheonsa samaeun soo gak baik ya ..apa gara gara pekerjaannya atau karna menelantarkannya ? dan eunsoo itu ibu kandungnya apa bukan ya ? hmm ckck

    Like

  12. Cheonsa punya pnyakit.. trlalu bnyak pnderitaan yg selalu dihadapi cheonsa 😦 sedih ngeliat khidupan nya.
    Wtf…. ktemu jongin? Kok aku jd benci ya sm Jongin.. pdhl kan klo dpkir2 jongin bisa saja ga tau apa ttg mslh kluarga eunsoo, siapa nama anaknya, bgmna anaknya, bgmnahl hubungan dia sm anaknya.. 😦

    Like

  13. Jongin ama emaknya cheonsa? Air mata gue bercucuran huaa TTTTT kasian bet cheonsa udah gak punya bapak, dibuang, trs firstlove nya pacaran ama emaknya-__-

    Like

  14. sekeping rasa kecewa merengut hati cheonsa perlahan-lahan…
    rasanya lengkap bgt ya hidup nya, ibu yg udah telantarin dia,gakpunya ayah,keluarga,pacar direbut ibunya… wow… aku rasa itu wajar sama cheonsa yang bener2 mau masa depannya tercapai… meninggalkan kenangan pahit yg gak ada habisnya

    Like

  15. apaaa… jadi itu pacarnya jongin itu ibunya cheonsa… dan ini cheonsa sakit.. aduhh sedih.. napa sih cheon hidupmu tragis banget..

    Like

  16. Entah gimana ceritanya aku bisa nyasar ke ff ini. Waktu baca prolog aku pikir ini bakal cerita anak sekolahan penuh roman picisan, tp nyampe chapter 1 aku salah total. ekspektasiku jauh dari realita. Gak ketebak dan aku suka penggambaran suasananya. Plot nya kereeeen! ide ceritanya gilaaa! pokoknya aku suka

    Like

  17. Omaigad…
    Ceritanya cukup berat menurutku..
    Tapi bacanya sangat ringan (?)
    Penyampaiannya sangat mudah dimengerti, juga sangat nyaman untuk dibaca dalam keadaan santai..

    Neeexxtttt

    Like

  18. Aku harap mimpi cheonsa untuk ke LA bisa tercapai dan dia bisa hidup lebih lama atau tidak penyakitnya bisa sembuh total amiin 🙂

    Like

Leave a comment