Uncategorized

Midnight Romeo [prologue] – JiYoo19

midnight romeo

 

 

Hanya ada satu hal yang dapat ku gambarkan tentang Kim Jong In.

Romeo tengah malam. 

***

Cinta ada, hanya dengan adanya keabadian.

Saat pertama adalah pertemuan. Lalu ada sebuah penegasan yang muncul.

Secara psikologis gila, kekosongan, panik, khayalan bahwa saat ini akan berlangsung selamanya.

Aku disita oleh keinginan.

Aku bersembunyi di balik punggung dan menunda semua jawabanku.

Mungkin seperti itu; cinta hal yang jujur—tapi ada masanya dipenuhi kebohongan yang kejam. Terlalu naïf juga egois.

 

***

Park Cheonsa. Cuma terdiri dari dua suku kata yang tidak masuk dalam kategori sulit. Itu namaku, kalau kalian tidak percaya, kalian bisa memeriksanya di daftar siswa paling aneh di Dong Jae High School. Tidak sulit menemukan namaku, kalian bisa menemukannya di deret pertama dengan huruf demi huruf yang dicetak bold akan terlihat sangat mencolok. Oke, kelian tidak perlu ragu. Itu memang aku.

Tidak seperti kebanyakan siswi lain, aku bukan siswi manis yang ramah. Aku juga tidak begitu baik dalam hal bergaul dengan orang lain, itu sebabnya aku tidak punya teman kecuali bibik penjaga perpustakaan dan ayam-ayam kecil di dekat sekolah. Ada filosofinya kenapa bisa seperti itu. Tapi sepertinya tidak penting aku menceritakannya. Jadi ku putuskan tidak bercerita. Mungkin lain waktu kita punya kesempatan yang lebih bagus.

Aku duduk di tahun pertama sekolah menengah atas Dong Jae, aku suka pelajaran Biologi dan sering kali melakukan percobaan gila di dalam kamarku. Tahun ini aku akan berusia 15 tahun, dan aku tahu melakukan penelitian di dalam kamar jelas bukan hal yang cukup waras untuk seorang remaja sepertiku. Tidak perlu menegaskan dua kali, sejak dulu aku memang aneh. Sangat aneh.

Tidak ada yang menyukaiku.

Semua orang bilang kalau aku ilmuwan sinting.

Ya, tidak apa-apa. Aku anggap itu sebuah do’a. Mungkin mereka punya tujuan baik soal itu, atau tahu-tahu saja di masa depan aku bisa menemukan ramuan kaki Mamoot? Wow, itu keren!

Aku berjalan di koridor dengan membawa buku ensiklopedia baru dari perpustakaan. Aku sangat berniat untuk menghabiskan waktu istirahat kali ini di belakang kelas dan membaca buku dengan tenang.

Di belakang kelas kosong, tidak ada orang di sini. Sekarang sudah memasuki musim gugur, jadi daun-daun mulai jatuh dan mengotori halaman belakang kelas dengan daun berwarna kekuningan. Aku duduk di bawah terik sinar matahari yang redup. Langit sedikit mendung hari ini, udara juga lumayan dingin. Oh, itu tidak masalah, setidaknya matahari tidak bisa membuat kulitku gosong.

Semuanya terasa begitu benar. Sangat biasa, bahkan tidak ada bedanya dengan hari kemarin. Entah itu suasana, daun-daun yang gugur, atau cuaca yang sedikit sejuk. Aku baru saja akan mulai membaca, tetapi ada sebuah hal ganjil yang menyelinap di mataku. Aku tidak tahu ini cuma halusinasi yang tidak nyata atau hanya sebuah bayangan kabur karena aku lupa memakai kaca mata. Tapi… entahlah, aku melihat Kim Jong In duduk bersandar di bawah pohon maple tua yang berjarak sepuluh meter dariku.

Oh. Kim Jong In.

Dia si Cassanova itu.

Jong In si penari sexy. Lelaki paling dipuja siswi-siswi Dong Jae, berambut coklat tua, berkulit gelap dan memiliki senyuman maut. Orang-orang menyebutnya Romeo.

Ya. Romeo.

Dan khusus untukku, aku memanggilnya, Cassanova.

Bohong besar jika ku katakan kalau Jong In tidak tampan, aku pasti benar-benar idiot jika mengatakan tidak tertarik dengan lelaki sepertinya.

Dia seperti dewa.

Tapi meski begitu, entahlah, ada suara lirih dari dalam hatiku yang menyuruhku untuk tidak mendekat padanya. Seperti halnya pemuda tampan kebanyakan, aku tahu Kim Jong In salah satunya. Dia selalu punya pesona untuk membunuh wanita manapun di belahan bumi ini bahkan dengan kerlingan matanya yang tidak serius.

Oke. Sepertinya aku mulai ngelantur. Tapi aku tidak bohong.

Kim Jong In memang seperti itu.

Aku sering mendengar ceritanya dari anak-anak di kelasku kalau Kim Jong In sudah sering bergonta-ganti pacar. Terlalu sering malah. Mereka bilang, Jong In sudah 75 kali berpacaran dan rekor fantastisnya ia pernah memacari seorang siswi Junior High School  dan kurang dari hitungan setengah jam ia memutuskan si gadis malang.

Oh, itu sangat Kim Jong In.

Aku tidak terkejut dengan rekor yang pernah diraihnya. Menurutku secara pribadi, itu bisa jadi sangat wajar mengingat pesona  Kim Jong In memang tidak dapat ditepis, akan terlalu sulit untuk menampik dan menarik diri dari orang sepertinya. Aku tahu itu.

Tapi aku juga tidak ingin jadi orang yang terlalu bodoh seperti mereka yang terjerat pesona sang Cassanova. Maksudku, seharusnya gadis-gadis itu bisa menolak ajakan Jong In untuk jadi pacarnya karena sudah sewajarnya mereka tahu mereka cuma jadi bahan lelucon. Aku tidak main-main.

Kim Jong In itu sangat berbahaya.

Dia bisa membunuh seseorang  bahkan dengan cara paling halus yang pernah diduga.

Kekhawatiranku tentu bukan tidak beralasan, semuanya sudah cukup masuk akal dengan apa yang otakku terjemahkan. Hati kecilku pun mengatakan hal yang sama. Secara keseluruhan, tidak ada hal yang dapat membuatku bisa mendekati Jong In. Dia terlalu berbahaya dan aku tidak ingin mencobanya barang satu kali.

Aku meliriknya dari balik buku yang ku baca. Tidak ada suara, aku cuma mengamatinya sebentar kemudian kembali membaca. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya, dari sudut ini, dia jadi begitu tampan. Bukan berarti jika dilihat dari sudut lain dia tidak tampan, hanya saja… oh, aku tidak tahu.

Sinar matahari redup, daun-daun yang gugur, halaman belakang yang sepi…

Kenapa semuanya terasa cocok?

Aku suka rambutnya yang acak-acakan, kemeja sekolah yang dikeluarkan, raut wajah yang begitu tenang dan jika saja aku tertidur aku pasti sudah mengira kalau ini mimpi yang sangat indah karena aku bertemu dengan seorang malaikat.

Ya ampun…

Aku pasti sudah gila.

Sadarlah Cheonsa!

Tanpa ku sadari, aku terus menatapnya tanpa berkedip. Buku ensiklopedia di tanganku tertutup dan jatuh di pangkuanku. Oh, biarlah, setidaknya aku bisa mencuri satu kesempatan untuk melihat orang itu dari sudut ini.

Angin berhembus pelan, menerbangkan daun-daun maple yang berwarna merah, aku melihatnya tersenyum dan mendongak menatap langit bulan September. Rasanya aku sangat berlebihan.

Ya, itu bisa jadi. Hanya saja, aku serius beranggapan kalau wajah itu sangat tenang tanpa gangguan ekspresi yang aneh-aneh seperti biasa.

Apa benar dia si Romeo itu?

Dia si Cassanova yang memikat. Aku tahu.

Tapi aku tidak tahu jika akan seperti ini akhirnya.

Oh, benar. Apa yang mereka katakan soal dirinya. Sekarang aku tahu mengapa mereka bisa jadi begitu idiot untuk menjadi pacarnya atau sekedar jadi bahan tertawaan. Cinta memang buta, tidak bisa melihat dan bodoh.

Tapi hal itu sangat indah, bahkan cinta dapat melupakan fakta tentang sakitnya jiwa yang dicampakkan begitu saja. Aku baru mengetahunya hari ini.

Kemudian dia menoleh, memutar pandangannya hingga bola mata kami bertemu. Aku sadar ekspresiku aneh sekali, ekspektasi yang ku terima jauh dari kata mengagumkan.  Sayangnya aku tidak bisa mengatakan hal itu. Bisa jadi lebih dari kata sempurna.

Entahlah, aku tidak tahu.

Namun hal yang ku sadari, ia tersenyum kecil. Rambut itu bergoyang ditiup angin, melambai pelan bersama daun maple berwarna merah.

Lalu ia mengerling. Aku tahu itu hanya sebuah kerlingan mata yang tidak serius.

Hanya saja… entahlah. Aku bingung menjelaskannya.

Ada apa dengan hari ini?

Kemudian dia pergi dan meninggalkan taman belakang kelas. Punggungnya menghilang di balik tembok. Aku meraba wajahku dan hasilnya aku bisa merasakan suhu tubuhku yang meningkat. Jantungku berdetak kencang.

Oh tidak…

Ku mohon jangan hal ini.

 

TBC

 

 

 

 

159 thoughts on “Midnight Romeo [prologue] – JiYoo19”

Leave a comment