Uncategorized

Noona, You’re My Wife! Chapter 3 part 2 [It’s not an ending]

Noona, You're My Wife!..

TITLE : Noona, You’re My Wife! Chapter 3 part 2

GENRE : Romance, Hurt/ comfort *little*

Rated : PG17

Author : JiYoo19

CAST : Oh Sehun – Kim Ji Yoon.

SUMMARY :  Kau mempermainkanku, Oh Sehun. Kau menyakitiku. Dan kau melupakan segalanya—kau lebih memilihnya daripada memilihku yang jelas-jelas adalah istrimu. Kenapa?

Kenapa kau bisa melakukan ini?

Tolong jangan hanya karena sebuah profesionalitas kerja lalu kau menjadikan itu sebagai kamuflase.

Jangan bela gadis itu. Tapi kau melakukannya.

Sudah cukup, Oh Sehun. Sudah cukup. Jika kau memang sudah tak dapat melanjutkan ini.

Baiklah. Aku akan menyerah. Kita akhiri ini. Mari kita akhiri segalanya, Sehun-ah.

Noona, You’re My Wife! Chapter 3 part 2

~000~

 

Preview

 

“Ya! Aish… Sehun-ah meskipun sweater ini bagus, tapi ini tetap kekecilan. Aku tidak bisa memakainya!”

Sontak aku berdiri. Memandang lirik ke laut lepas dengan menggenggam erat sweater di tanganku. Sweater ini terhanyut—sementara sosok pemiliknya sama sekali tak tampak.

Tidak.

Tidak mungkin.

Noona.

Kim Ji Yoon. Sweater ini adalah sweater miliknya.

Tidak—tidak mungkin!

Aku berlari—menerjang ombak. Kembali terjatuh dan bangkit mengejar sesuatu yang tak ku mengerti apa. Fikiranku kalut. Rasa takut menggerogoti tubuhku. Aku menggigit bibir bawahku kelu, mataku memanas.

Tidak—ku mohon jangan!

Kim Ji Yoon…

Ku mohon jangan dia!

“KIM JI YOON!!!!”

 

~000~

 

Author P.O.V

 

Chanyeol menghentikan langkahnya mendapati gerakan lembut yang bersumber dari punggungnya. Suara erangan halus terdengar. Pemuda itu menolehkan kepalanya, dan mendapati sosok gadis yang berada dalam gendongannya mulai tersadar.

“Agassi, gwenchanayo?”

Chanyeol mendudukkan gadis itu di salah satu kursi pinggir pantai sementara ia sendiri berjongkok mensejajarkan dirinya dengan gadis itu.

“Nan gwenchana,”

Gadis menjawab. Ia memijit pelipisnya pelan—mencoba mengurangi rasa ngilu yang mendera kepalanya. Ia menatap Chanyeol—dan terkesiap begitu mendapati sosok di hadapannya adalah sosok namja yang tempohari ditabraknya di lobi hotel.

“Anda—“

“Ya, aku orang yang di lobi hotel itu,” potong pemuda itu cepat. Sebelum sempat Jiyun menyelesaikan ucapannya.

Jiyun hanya bisa menghela nafasnya pelan. Wajahnya makin terlihat pucat, matanya kuyu dan sembab. Meski samar, baret-baret lingkaran hitam menggantung di bagian bawah matanya. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu. Dan tak ayal itu membuatnya merasa heran.

Chanyeol mengerti dengan ekspresi gadis itu. Ia hanya bisa mengikuti arah pandang gadis itu seraya mengulas sejumput senyuman tipis di wajah rupawannya.

“Kau pingsan di bawah jembatan  Agassi, jadi aku membawamu. Dan seperti yang kau ketahui, kita masih di pantai,” jelas pemuda itu tanpa memandang gadis di belakangnya.

Juyun tersentak.

Pingsan?

“Pingsan?” tanyanya memastikan. Pemuda itu mengangguk.

Gadis itu meringis. Secepat mungkin ia beranjak. Ia harus pulang—ia harus kembali. Bagaimana jika seandainya Sehun telah kembali dan mendapati dirinya tak ada di hotel? Oke, mungkin Jiyun tak sadar bahwa nyatanya ia sukses besar membuat pemuda bermarga ‘Oh’ itu kalang kabut setengah mati. Tapi toh ia tetap tak menyadarinya.

Satu-satunya hal yang difikirkannya adalah pulang.

Pulang lalu melihat wajah pemuda yang dicintainya itu. Ia bahkan sepertinya tak ingat dengan rasa cemburu yang nyaris membunuhnya beberapa jam yang lalu—atau mungkin tidak. Ia mengesampingkan ego demi perasaan rindu yang menggelayut di hatinya.

“Agassi, anda mau kemana?” pemuda bernama Park Chanyeol itu menyusul Jiyun. Mengejarnya dan sukses menangkap pergelangan tangan gadis itu.

Dingin. Itu yang dirasakan Park Chanyeol ketika permukaan kulitnya beradu dengan permukaan kulit Jiyun. Gadis itu menoleh, matanya menatap gusar Chanyeol yang juga tengah menatapnya dengan pandangan bingung.

“Aku harus kembali, suamiku pasti mencariku,”

Oke, Chanyeol shock sekarang. Ia menatap gadis di hadapannya dengan ekspresi kacau yang benar-benar membuat orang-orang akan bertanya ada apa dengan pemuda ini. Dan sayangnya, pemuda itu sama sekali tidak salah dengar.

Suami. Ya. Gadis ini sudah menikah—gadis yang dikiranya seorang gadis kecil yang ditabraknya di lobi hotel, gadis aneh yang pingsan di bawah jembatan dengan tubuh setengah tenggelam dan kini…

Menikah? Gadis ini telah berstatuskan istri orang.

“Suami?” pertanyaan bodoh. Chanyeol kembali mengulangi apa yang dikatakan gadis itu. Raut wajahnya benar-benar menyiratkan ketidak percayaan atas hal yang dituturkan oleh gadis di hadapannya.

“Ne. Karena itu aku harus pulang, aku tidak boleh membuatnya khawatir. Mian ne,” gadis itu beranjak. Berlari begitu saja tanpa perduli dengan keadaan tubuhnya yang nyaris remuk di detik yang sama. Chanyeol hanya dapat diam terpaku. Ia benar-benar tak percaya dengan semua ini. Bahkan ia merasa konyol pada dirinya sendiri.

Oh, bahkan gadis itu lupa mengucapkan terimakasih padanya dan langsung menghambur begitu saja. Oh, ya ampun…

Chanyeol terus memperhatikan gerak gadis itu yang semakin menjauh. Menembus hujan yang tengah menghantam pantai dengan derasnya. Chanyeol merasa tidak mengerti—tidak. Dan ia dapat merasakan adanya perasaan aneh yang berdentum di dadanya ketika menatap raut wajah gadis itu—seperti ada perasaan hangat yang terselip di hatinya. Perasaan hangat yang membuat jantungnya menjadi gila. Perasaan aneh yang membuatnya langsung tersadar bahwa kini ia kembali merasakan rasa sakit yang sama jauh beberapa tahun yang lalu.

Pemuda itu tertawa hambar.

“Ayolah, Park Chanyeol, apa yang kau fikirkan, heh!”

Ia merutuki kebodohannya sendiri.   Ia meletakkan kedua tangannya di saku celana training yang tengah dikenakannya dan menengadahkan kepalanya menatap langit malam yang masih sibuk menurunkan derai hujan. Ia tersenyum tipis.

Chanyeol berbalik—seketika saja ia merasa harus kembali ke hotel, moodnya mendadak hilang untuk sekedar melanjutkan acara jalan-jalannya. Fikirannya benar-benar penuh dan ia merasa tak mengerti atas apa yang terjadi pada dirinya hari ini.

Gadis itu.

Entah mengapa ada satu rasa ketertarikan yang ditimbulkannya terhadap diri Chanyeol. Pemdua itu sendiri juga tak mengerti sesuatu itu apa. Dan kenyataan atas gadis itu yang sudah bersuami benar-benar membuatnya seakan jatuh. Ia merasa dirinya bodoh—dan kebodohan itu sendiri ia tak tahu apa.

Konyol sekali.

Tapi jika Chanyeol boleh berharap, ingin sekali ia dapat bertemu dengan gadis itu lagi. Yah… kedengaran klise, tapi itu memang harapannya.

Ia ingin melihat gadis itu lagi di kesempatan yang berbeda. Paling tidak untuk kali ini ia merasa cukup.

Semoga saja.

Di kesempatan lain ia dapat kembali menjumpai gadis asing itu.

 

~000~

 

Oh Sehun P.O.V

Kemana?

Kemana lagi aku harus mencarimu?

Kemana lagi aku akan pergi?

Kim Ji Yoon. Tolong jawab aku. Air mataku menetes, jemariku saling mengepal kuat—menampakkan buku-buku jariku yang kini memutih. Aku memutar langkahku, memutuskan untuk kembali ke hotel. Hujan turun semakin lebat dan hingga saat ini aku tak mendapati adanya tanda-tanda keberadaannya.

Aku nyaris putus asa. Aku khawatir dan aku takut.

Kim Ji Yoon. Dia benar-benar tak bisa berjalan sendirian—dia pasti tersesat—dan sekarang apa? Aku menemukan sweater kekecilan miliknya terombang ambing oleh ombak. Apa yang harus ku lakukan. Aku benar-benar tak memiliki petunjuk dimana keberadaanya.

Ini sulit—dan akan semakin sulit lagi dengan perasaan sesak yang menghantam diding hatiku. Aku tak bisa berfikir. Bayangan-bayangan menyedihkan tentang gadis itu terus berputar tanpa bisa berhenti.

Suaranya terus terdengar.

Memanggil namaku dan kemudian kembali tertawa.

Kim Ji Yoon. Maafkan aku.

Aku berjalan pelan. Memandang lurus ke depan tanpa berniat benar-benar memperhatikan langkahku. Itu bukanlah hal penting. Dan kenyataanya sekarang aku benar-benar kacau. Teramat kacau hingga aku nyaris gila memikirkan keadaanmu, Kim Ji Yoon.

Tiba-tiba saja aku menangkap sebuah pemandangan ganjil. Sesosok pemuda yang tampak dengan sesosok yeoja di punggungnya. Pemuda itu menuntun gadis itu untuk duduk sementara ia sendiri berjongkok di hadapnnya.

Aku merasa mengenali dua sosok itu. Ya. Terutama dengan gadis itu.

Namun rinai hujan yang turun menghalangi jarak pandangku. Kedua sosok itu saling bicara—entah apa yang dibicarakannya aku sendiri tak dapat mendengarnya dengan jelas. Aku memutuskan untuk mendekat.

Sosok yeoja yang terduduk sembari tertunduk itu. Aku mengenalinya. Aku mengenalnya dengan jelas.

Dia Kim Ji Yoon!

Sosok gadis itu berdiri—berniat hendak pergi sebelum pria misterius itu menahan pergerakannya. Entah perasaan apa yang ku rasakan, tapi rasa sakit ini praktis menghantam dadaku. Jiyun menoleh dan… apa itu?

Ia tersenyum.

Tangan pemuda itu menggenggam tangannya. Dan kemudian tautan singkat itu terlepas. Jiyun pergi dan akhirnya meninggalkan pemuda itu sendiri. Aku hanya bisa tertawa sinis.

Inikah yang kau lakukan, Kim Jiyun?

Inikah yang kau perbuat?

Setelah aku berteriak dan mencarimu ke seluruh tempat, berteriak layaknya orang gila dan menangis di pinggir pantai untukmu?

Rahangku mengeras. Bunyi gemeletak jari yang ku remas semakin meperparah keadaan emosiku. Aku memandang lurus ke depan—memandang punggung sosok pemuda itu dengan tatapan tajam menusuk. Ia berbalik. Menampakkan sosoknya.

Lagi-lagi sebuah cambukan keras menghantamku.

Itu Chanyeol.

Park Chanyeol rekanku. Dan betapa ini terlihat semakin menyakitkan jika mengingat kenyataan beberapa detik lalu ia baru saja menggenggam tangan seorang gadis yang kini telah berstatuskan sebagai istriku.

Bukankah itu tindakan illegal?

Oke, ia tidak tahu soal itu—tapi bagiku itu akan sama menyakitkan. Dan kau tahu? Rasa lelah yang bercokol di tubuhku ini semakin memperburuk segalanya.

Sebelum sempat ia mendekat aku mempercepat langkahku. Toh, pada akhirnya ia juga tak melihatku—ia terlalu sibuk memandangi langit tanpa perlu repot-repot memperhatikan langkahnya.

Dan aku terlalu sibuk mengurusi emosiku.

Satu-satunya tujuanku hanya kembali ke hotel lalu membicarakan hal ini dengan Jiyun berdua!

Aku harus menuntut penjelasannya mengenai hal ini. Dan apa itu? Ia berniat membalas perbuatanku dengan kencan bersama pria lain?

“Kim Jiyun, kita harus bicara,”

 

~000~

 

Author P.O.V

 

Jiyun merebahkan dirinya di ranjang setelah sebelumnya mengganti pakaiannya yang basah dengan piyama kering berwarna broken white.

Mata kuyu gadis itu menerawang ke langit-langit kamar hotelnya dan terus saja menggumam gelisah. Berulang kali ia membolak-balikkan tubuhnya. Mencari posisi yang nyaman baginya untuk segera mengistirahatkan tubuhnya.

Namun tidak—tidak selama pemuda itu belum kembali. Ia tak akan pernah bisa memejamkan matanya dengan leluasa. Sosok itu. Jiyun tak akan pernah merasa tenang tanpa adanya sosok itu di sisinya. Dan ia menyadari itu.

Betapapun emosi serta perasaan cemburu menggerogoti hatinya, toh kenyataannya ia tetap mencintai pemuda itu. Ia tetap mencintai Sehun.

Dan jikalau boleh ia mengakui, ia cemas sekarang. Jauh lebih mencemaskan keadaan pemuda itu ketimbang dirinya yang tengah demam parah saat ini. Ia tidak perduli dengan konsekuensi tubuhnya yang kelelahan—yang ia perdulikan hanya pemuda itu. Tidak ada yang lain.

Hanya Sehun.

Dan satu-satunya hal yang diinginkan gadis itu hanyalah Sehun.

Tidak ada yang lain.

Pintu kamar hotel itu terbuka. Gadis itu menoleh, dan ia mendapati sosok pemuda yang dinantinya di sana. Di depan pintu dengan kondisi teramat parah. Sekujur tubuhnya basah kuyup dan wajahnya Nampak pucat—nyaris menyamai kondisinya.

Jiyun sontak turun dari ranjang dan menghampiri pemuda itu. Ia mengambil handuk kering dan kemudian berjalan ke arah pemuda itu. Menyampirkan handuk itu di lehernya dengan sebisa mungkin berjinjit untuk dapat meraih posisi yang cukup sulit itu.

Sehun sendiri tampak tak bergeming. Ekspresinya datar dan ia hanya menatap gadis itu dengan tatapan kosong.

Dan tepat saat tangan gadis itu berusaha menyentuh wajahnya, Sehun menepis tangan gadis itu.

Tidak kuat—namun efeknya benar-benar membuat Jiyun tersentak karena tindakan mengejutkan itu. Ia menatap Sehun dengan tatapan tak mengerti. Pemuda itu hanya memandang Jiyun tajam, kemudian melenggang santai ke kamar mandi tanpa memperdulikan Jiyun yang memandanginya bingung di belakang sana.

Gadis itu terpaku—hanya diam sembari menatap kakinya.

“Kenapa… ada apa…”

Bibir gadis itu bergetar, matanya yang kuyu terasa begitu pedih dan ia tak sanggup menahan laju air matanya. Namun sejurus kemudian ia hapus air mata itu, mencoba meyakinkan pada dirinya jika segalanya akan baik-baik saja.

Berulang kali ia menggumamkan kata-kata itu dan menyemangati dirinya.

Ia dan Sehun akan baik-baik saja.

Berusaha menyembunyikan rasa sakit dan kesedihannya. Itu yang dilakukan Jiyun. Ia tak ingin menampakkan kesedihannya—sebisa mungkin berharap agar pemuda itu tak menyadarinya. Dan mungkin, Jiyun akan sangat bersyukur jika itu terjadi.

Pintu kamar mandi terbuka. Menampakkan sosok Sehun yang telah siap dengan potongan kaus tipis berwarna hitam dengan celana training longgar berwarna putih dengan garis hitam di pinggirnya. Rambut pemuda itu ditutupi oleh handuk berwarna kuning cerah dan ia berjalan ke arah tempat tidur yang sekali lagi tanpa memperdulikan Jiyun yang masih setia terpaku menatapnya.

Jiyun melangkahkan kakinya ke ranjang. Duduk di tepi tempat tidur tanpa berniat membaringkan tubuhnya seperti apa yang dilakukan pemuda itu.

“Dari mana saja kau?”

Suara pemuda itu memecah kesunyian diantara mereka. Suaranya berat juga dingin, itu membuat Jiyun yang tadinya terdiam hingga berbalik dan memandang Sehun dengan pandangan bingung. Ia tak mengerti.

“Apa?”

Sehun tertawa hambar.

“Dari mana saja kau Oh Ji Yoon,”

Bahkan Jiyun merasakan ada sesuatu yang berbeda dari pemuda ini—nada bicaranya tidak seperti Sehun yang biasanya. Kali ini terdengar menakutkan dan itu membuat Jiyun ingin lari saat ini juga.

Bukankah seharusnya Jiyun yang mengatakan itu?

Dari mana saja kau Oh Sehun?

Seperti itu? Bukankah itu yang harusnya gadis itu katakan?

“Aku—“

“Tidak tahu kah kau kalau aku mencarimu? Aku berteriak dan memanggil-manggilmu berjuta kali hingga rasanya suaraku habis. Dan sekarang, dari mana kau Oh Ji Yoon?”

Sehun beranjak dari tidurnya dan kini berdiri persis di hadapan gadis itu.

Jiyun mendongak. Mendapati dirinya yang tengah ditatap sebegitu intens oleh pemuda di hadapannya. Jiyun lagi-lagi mengulas senyum miris.

“Harusnya aku yang mengatakan itu padamu, Sehun-ah. Dari mana saja kau?”

Sehun tak bergeming. Ia hanya menatap lurus Jiyun seakan berusaha menenggelamkan gadis itu dalam rasa takut yang ia ciptakan. Ia bergerak makin dekat dan membungkukkan badannya. Kedua tangannya mencengkram bahu gadis itu hingga wajahnya sejajar dengan gadis itu.

“Katakan apa yang kau lakukan dengan berkeluyuran dengan lelaki lain di pantai, tadi!”

Mata Jiyun membulat. Tidak percaya—dan mungkin lebih terdefinisikan sebagai rasa shock yang menghujam dadanya dalam beberapa detik.

Lelaki lain?

Maksudnya pemuda yang menolongnya di pantai tadi?

“Aku tidak keluyuran dengannya, Sehun-ah. Pemuda itu menolongku!” tukas Jiyun. Gadis itu balik menatap Sehun dengan tatapan yang tak kalah tegas dari suaminya. Ia berusaha menegaskan bahwa apa yang dilihat pemuda itu salah. Ia tak pernah berniat untuk mengkhianatinya lalu berpaling pada pemuda lain.

Tidak—ia—Kim Ji Yoon tak akan pernah melakukannya!

“Lalu kau mengharapkanku percaya, begitu?”

Baik. Ia tak bisa lagi menahan emosinya lebih lanjut. Pemuda ini benar-benar sudah memancing emosinya kembali. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak langsung berteriak—dan kenyataannya pemuda ini tak melakukan hal itu.

Ia terus memojokkan Jiyun seolah-olah Jiyun lah yang bersalah di sini.

“Lihat dirimu, Oh Sehun! Memangnya apa yang kau lakukan dengan Baek Ji Ah itu? Apa!”

Jiyun menepis kedua tangan Sehun dari bahunya. Ia menatap pemuda itu bengis—matanya berkaca-kaca. Dan bisa dipastikan dalam beberapa detik saja, bendungan rapuh yang menopang air matanya itu dapat luruh.

“Aku mencarimu, ke semua tempat—menyusuri pantai dan itu ku lakukan selam lebih dari dua jam! Dan aku tak ada hubungan apapun dengannya. Dia hanya rekan kerjaku. Tidak ada hubungannya dengan ini,”

“Ada—tentu saja ada! Kau pikir aku tidak melakukan hal yang sama, huh? Kau pikir aku tidak mencarimu? Aku mencarimu, Sehun-ah, aku mencarimu! Aku menunggumu pulang tapi kau tetap tak datang! Dan kau malah bersama yeoja itu, bukan denganku! Kau bersamanya lebih daripada kau menghabiskan waktumu denganku! Kau juga menggandeng lengannya, kau juga tertawa dengannya! Lalu kenapa kau harus marah dengan seorang namja yang hanya berniat untuk menolongku! Kau egois! Kau egois Oh Sehun!!!”

“Kau pergi tanpa izinku, bagaimanapun juga kau tetap istriku!”

“Kau menggandeng lengannya! Kau berpose teramat dekat dengan yeoja itu sementara aku hanya dapat menonton! Kau tidak meminta izin padaku, dan sekarang kau balik membentakku hanya karena seseorang yang ingin menolongku?!”

Jiyun berdiri. Mendorong Sehun menjauh sementara ia berusaha pergi meninggalkan ruangan ini secepat mungkin. Tapi kenyataannya Sehun jauh lebih cepat menahan pergerakan gadis itu. Ia menggenggam erat gadis itu dan kemudian menarik dan mendorongnya ke tembok. Mengunci pergerakan gadis itu dengan kurungan dari kedua tangannya.

“Kau bahkan tidak mendengar penjelasanku, Jiyun-ah!”

Sehun menggenggam erat kedua tangan Jiyun. Begitu erat hingga di masing-masing pergelangan tangan itu menyisakan bekas kemerahan yang begitu kontras di kulitnya yang seputih pualam.

Air mata Jiyun meleleh. Ia tak dapat lagi menahan laju air mata yang telah menggenang di sudut matanya. Air itu jatuh begitu saja tanpa perlu mengindahkan kehendak Jiyun yang mati-matian mempertahankan air itu di tempatnya.

Dan inilah puncaknya. Ia tak dapat menahan emosinya. Ia telah sampai pada titik terendah dimana ia dapat menahan amarahnya atas semua ini.

“Untuk apa…” bibir pucat gadis itu bergetar. Matanya merah—kuyu dan juga bengkak. Mengidentifikasikan betapa gadis itu amat kelelahan dengan segala yang ia jalani. Gadis itu mencoba untuk menggerakkan tubuhnya—ia mencoba untuk bicara, tapi yang keluar justru cicitan halus yang nyaris tak terdengar. Suaranya terdam jauh ke dalam tenggorokannya. Hilang entah kemana.

“Untuk apa aku mendengarkan penjelasanmu, karena pada akhirnya kau juga akan mengatakan hal itu sebagai bentuk profesionalitas kerja. Oh Sehun, kapan kau mengerti kondisiku? Kapan kau baru akan menghentikan kesalahanmu? Kapan kau akan berhenti menyakitiku? Tolong jangan hanya karena sebuah profesionalitas kerja lalu kau menjadikan itu sebagai kamuflase!”

“Oh Ji Yoon!!!”

“KAU TIDAK PERNAH MENGERTI DENGAN KONDISIKU OH SEHUN!!!!”

“—Cukup!!”

Sehun lagi-lagi mencengkeram erat kedua bahu mungil gadis itu. Nafas pemuda itu tersenggal—rahangnya mengeras. Di mata pemuda itu gumulan Kristal bening terselip. Ia benar-benar tak mengerti dengan semua ini.

Ia egois.

Dan Jiyun telah membeberkan segalanya—gadis itu menangis. Lagi-lagi kembali tersakiti karena kesalahannya yang entah sudah keberapa kalinya.

Ia merengkuh gadis yang tengah terisak itu ke dalam pelukannya. Mencoba meredam isak tangis yang memenuhi kamar hotelnya dengan atmosfer kesedihan yang begitu kentara dengan emosi. Dan gadis itu menumpahkan segala rasa sakitnya saat itu juga.

Jiyun sendiri tak dapat melakukan apapun selain menangis. Menumpahkan air matanya dan menjerit sekuat yang ia bisa. Tubuhnya bahkan terlalu lemah untuk sekedar menolak rengkuhan halus pemuda itu—ia tak bisa menolaknya. Dan ketika tersadar ia telah kembali bersandar pada dada pemuda itu.

Mencium aroma yang sama. Pinus dan lemon—aroma yang selalu dirindukannya.

“Kapan… kapan kau baru akan mengerti kondisiku, Sehun-ah? Kapan?”

Sehun mendekap gadis itu lebih erat. Berulang kali menggumamkan kata maaf yang dengan harapan tangisan gadis itu dapat terhenti. Tapi tidak—tidak karena isakan memilukan itu semakin keras. Bahu gadis itu bergetar. Menahan goncangan batin yang kini menghempaskan gadis ringkih itu dalam gelombang emosional super dahsyat.

Kedua tangan pemuda itu membingkai wajah Jiyun dengan gerakan lembut. Masing-masing ibu jarinya mengusap sudut mata gadis itu—berusaha menghentikan air mata yang masih setia mengalir.

Ia menundukkan wajahnya lebih dalam hingga keningnya mencapai pelipis gadis itu. Hidungnya menyentuh kelopak mata gadis itu.

Hembusan nafasnya terasa berat—juga hangat. Memantul di permukaan wajah Jiyun hingga menimbulkan suatu perasaan aneh yang melegakan. Perasaan familiar yang selalu dirasakan gadis itu ketika pemuda itu menyentuhnya.

Tenang dan ia tak ingin waktu berputar lebih cepat.

“Mianhae,”

Satu patah kata itu terlepas taktis dari bibir Sehun. Terlontar dan mengalun bersama atmosfer sendu yang mengelilingi mereka.

Bibir pemuda itu menyapukan dirinya di pipi kiri gadis itu. Turun perlahan menuruni lekuk garis wajahnya.

“Maafkan keegoisanku, noona…”

Hal terakhir yang dapat dirasakan Jiyun ketika pemuda itu mengatakan penggalan kalimat terakhir itu adalah bibirnya yang terbungkam oleh bibir pemuda itu. Menekannya halus tanpa adanya sedikitpun hasrat untuk mendesak sesuatu yang lebih.

Tidak ada egoisme, tidak ada emosi yang meluap, tidak ada nafsu yang mengontrol.

Hanya ada cinta.

Tangan gadis itu bergerak perlahan—berusaha memberikan respon atas apa yang telah dilakukan pemuda itu dengan mencengkeram bagian depan kaus yang tengah dikenakannya dengan erat.

Segalanya terasa begitu memabukkan—segalanya termasuk lumatan-lumatan lembut yang dilakukan bibir pemuda itu pada gadisnya. Memberinya sentuhan lembut yang bisa dipastikan dapat memberinya sejumput rasa nyaman dan juga kehangatan yang selama ini hilang.

Meluapkan kerinduan, amarah juga keegoisan yang telah membutakan segalanya.

Sehun membuka matanya. Menampakkan iris obsidian yang berkilat cemerlang dari balik kelopak matanya. Dan gadis itu melakukan hal yang sama. Tatapan kedua individu itu tertambat. Menyalurkan apa yang mereka rasakan tanpa perlu lagi adanya kata-kata yang terlontar.

Tidak ada sedikitpun kontak yang terlepas—pemuda itu masih sedia menahan bibir gadis itu di panggutan bibirnya sendiri.

Gadis itu tersenyum. Air matanya kembali luruh—jatuh perlahan menuruni lekuk wajahnya.

Ia memejamkan matanya—mencoba terus memberikan lumatan-lumatan lembut yang semakin memenjarakan keduanya dalam sebuah belenggu kebahagiaan.

Sehun kembali merengkuh gadis itu—mengikatnya hingga ia tak dapat terlepas dari genggamannya.

“Mudeunge gomaweo, noona…”

 

TBC_

 

 

 

152 thoughts on “Noona, You’re My Wife! Chapter 3 part 2 [It’s not an ending]”

  1. part sehun-jiyoon adu mulut di kamar feelnya dapet, penggambaran sehun yang lebih mudah dari jiyoon buyar karna sikapnya yang lembut huaaaa~

    Like

  2. semoga ja ji yoon g minta cerai ma sehun…
    buat sehun jgn terlalu egois ya….dengerin penjelasan dari ji yoon dulu…begitupun sebaliknya…hehehe

    Like

  3. Dsini so sweet bgt kk . Walo awalnya bkin mewek . Ahh chanyeol kyanya fallin in love at the first sigh sm jiyun . Lucu deh . Konfliknya udah mlai mncul hohohoho . Keep writing author .

    Like

  4. kirain bakalan meledak ledak marah nya…. udah sampe puncak marahnya eh cepat banget turunnya… gondoknya belum habis udah kelar masalah nya.. tpi gpp deh mereka sama sama cemburu tpi menurut ku emosinya belum ada penyelesaian..

    Like

Leave a comment